Napak Tilas Perut, Hanjawar
Oleh: Kevin Sanly Putera / 11140110117
“Polo Queen!” tawa Sandy seraya
membanting tiga kartu Queen dan dua kartu enam. Yang lain terdiam: ada yang tersenyum
kecil, ada yang mengumpat, dan ada yang masih sibuk bermain HP. Saya juga ikut
tersenyum melihat situasi kemenangan Sandy. Euforia kami bahkan bertambah
ketika seorang bapak datang ke meja kami: makanan kami sudah datang. Tiga piring
sate ayam bongsor, satu piring sate kambing, dan dua mangkok tongseng kambing
panas siap memanjakan perut kami.
Saya,
Sandy, dan lima teman lainnya sengaja pergi ke Sate Kambing Hanjawar untuk
ziarah, menyegarkan lidah dan perut kami. Pondok sate yang berlokasi di Jalan
Raya Kota Bunga, ini terletak di pinggir
jalan menuju Cikanyere, Puncak. Perjalanan dari Kalideres, Jakarta Barat hingga
ke lokasi memakan waktu satu jam setengah. Jam di HP menunjukkan 10.35 WIB. Jalan
Raya Puncak dari keluar Tol Jagorawi masih cukup padat dengan mobil berplat B.
Saya yang duduk di kursi depan membuka kaca, mencicip udara malam itu. Satu
hirupan dalam-dalam saja, paru-paru bak dicuci bersih dari kotoran debu
Jakarta.
Cuaca
dingin, pemandangan lampu kota Bogor dari jalan tinggi menyita perhatian kami
dan sampailah kami di tujuan. Tidak ada lampu yang menerangi jalan sepi itu
selain lampu kendaraan dan lampu dari plang “Sate Kambing Hanjawar”. Dari
kejauhan, kepulan asap panggangan sate sudah membumbung disorot lampu TL plang.
Lahan parkir disini ala kadarnya, kalau pinggir jalan penuh, bisa-bisa
menumpang di lahan milik restoran seberang.
Sate
Kambing Hanjawar tak pernah sepi bahkan hingga pukul tiga pagi. “Bukanya dari
jam delapan, tutupnya jam dua pagi,” kata salah seorang pegawai yang sedang
memotong daging kambing di dapur. “Bu, ini jam segini aja masih ramai.
Sebenarnya tutup jam berapa?” tanya saya kepada Ibu Hanjawar, pemilik dari
pondok sate itu yang duduk di belakang kasir. Ia hanya tertawa, kemudian bertanya
kembali kepada para pegawainya, “Kita mah ga pernah tutup ya?”
Restoran
itu bernuansa putih, setidaknya dari warna ubin dan cat dindingnya. Barisan
minuman soda yang sudah dioplos menghiasi dinding. Dapurnya persis bengkel
motor jalanan: berantakan. Kompornya setia memanaskan dua pot besar, satu berisi
sop, yang satunya berisi kuah tongseng. Kompornya kotor dengan tumpahan kuah
merah yang sudah kering. Di seberang kompor ada tempat memotong daging yang
sungguh tak menarik dilahap mata. Namun begitulah pandangan rutin para tukang
daging, begitu juga pegawai Sate Kambing Hanjawar. Meja operasi mereka ditata
sedemikian berantakan: di ujung kanan tempat memotong daging untuk sate dan
tongseng, di sebelah kiri tempat meramu bumbu kacang, acar, dan tongseng.
Kasirnya sendiri dipenuhi dengan varian kerupuk ikan, dan hanya menyisakan
seperlima lahan kosong untuk meletakkan daftar pesanan yang makan.
Pondok
sate Hanjawar tidak terlalu besar: di dalamnya hanya terdapat lima meja dengan
enam sampai delapan kursi di setiap meja. Barulah di bagian belakangnya adalah
dapur dan kasir. Mejanya disusun sedemikian rupa sehingga antar konsumen bisa
saling bertatapan. Saya sendiri kerap menoleh ke belakang, ke samping, dan ke
depan sekadar meneliti para pengunjung lainnya. Ada yang datang satu keluarga,
ada juga sepasang lanjut usia, ada lagi sekumpulan bapak-bapak.
Hal
pertama yang akan dihidangkan adalah acar dan bumbu kacang. Acarnya adalah
bawang merah muda, dicampur potongan tomat, dan juga cabaim dilumuri dengan
kecap manis. Bumbu kacangnya dihidangkan di atas sebuah mangkok tidak berjeluk,
dan dihiasi dengan spiral kecap. Setelah itu barulah teh panas menyusul.
Pengunjung yang datang malam hari selalu memesan teh panas, ada juga yang minum
jeruk panas. Teh yang disajikan bukan hangat, tapi sesuai dengan menunya:
benar-benar panas. Meski paradoksnya cocok, tetap saja lidah belum sanggup
menyambut suhu setinggi itu. Maka, wajar para pengunjung tidak langsung
meminumnya, tetapi hanya dibiarkan begitu. Setidaknya bagi mereka yang sudah
pernah kemari.
Sebuah
TV kusam yang diletakkan agak tinggi di atas kasir memainkan sebuah sinetron.
Suaranya cukup nyaring, tapi belum mengalahkan bisingnya senda gurau tiap meja
pengunjung. Butuh sekitar 10 menit hingga sate kami siap untuk dibakar. Dalam jam
saya dan teman-teman, itu berarti empat kali permainan Poker. Kami bergantian
bermain, tanpa menganggu acar dan bumbu kacang yang tersedia. Beberapa mencoba
menyentuh gelas teh, tapi asap yang menggerayangi udara sedahi kami menunda
niat itu.
“Baru
mau dibakar?” tanya Brian, setelah melihat si bapak pegawai membawa tumpukan
sate pesanan kami. Raut kecewanya segera tersapu karena sibuk menyusun deck-nya. Dua ekor kambing tanpa kepala yang
sudah dikuliti, dipajang di bagian depan restoran. Berbeda dari restoran lain
yang memajang sample makanan
andalannya, hanya kambing segar yang masih meneteskan darah itu yang
dipamerkan. “Sehari bisa habis tujuh ekor kambing,” kata Ibu Hanjawar sambil
menunduk, masih di balik etalase kasirnya.
Angin
sejuk di luar kios sepi berkunjung ke dalam sehingga kehangatan menjadi satu
kekhasan lagi di sini. Saya kerap menatap ke TV, gambarnya tidak begitu jernih,
dan membuat mata lebih baik menatap acar yang siap disantap. Dari kaca tembus
pandang, bisa dilihat sang pegawai membakar sate yang sudah diselimuti saus
kecap.
Seorang pegawai wanita datang
membawa dua mangkok tongseng panas dan satu bakul nasi. Kami dengan kompak
membagikan piring, mengambil sendok garpu, dan membagikan nasi. Kuah merah yang
hampir tumpah dari mangkok itu melayangkan beberapa potong daging kambing
coklat keabuan, lembaran kecil sayur kol, dan juga bongkahan tomat panjang. Tongsengnya
tidak sepanas teh, sehingga bisa langsung disantap. Saya segera memimpin
barisan pembersih: sepotong daging kambing yang menguncup masuk dalam cedokan
sendok saya, berikut dengan tomat yang masih kehijauan. Ditumpahkan ke nasi
yang sudah agak dingin, lalu singgah bersetubuh dengan lidah: sempurna.
Minyak dari kuah tongsengnya sangat
kentara, tapi tidak membuat enek karena ada sayuran di dalamnya. Hampir satu
mangkok habis, juara bertahan kami hadir ikut bermain: sate kambing dan sate
ayamnya sudah jadi. Sate Kambing Hanjawar terkenal akan ukuran potongan daging
yang lebih besar dibanding sate pada umumnya. Harga untuk satu porsi sate ayam
adalah Rp25.000,00 dan untuk sate kambing Rp40.000,00. “Iya, sate kambingnya sudah
naik Rp10.000,00, sudah dari sebulan lalu,” ujar Ibu Hanjawar. Meski demikian,
menu andalan ini tidak lesu diterjang pengunjung.
Sate kambingnya tersusun rapi dari
atas: daging, lemak, daging. Urutan kedua yang dikata membuat sate itu demikian
luar biasa. Untuk sate ayam, tidak ada bagian kulit, hanya daging. Tiga hingga
empat bongkahan daging seukuran dua kuku jempol orang dewasa dicampur saus
kacang, ditambah lagi tomat ataupun bawang merah muda: apa yang melebihi
sempurna?
Sesudah gigitan pertama, kami
bertujuh saling tersenyum lebar. “Menn....!” seru Brian dengan ceria. Tak perlu
belasan menit, piring sudah bersih, hingga tidak perlu dicuci lagi. Tentu
kenyang yang dirasa setelah blitzkrieg
malam itu, kami bersantai sejenak sebelum pulang ke Jakarta, menyeruput teh
meski sudah dingin. Saya berdiri dan pergi ke kasir, “Bu, toilet dimana?” “Di
belakang sini,” tunjuknya ke arah luar. Saya harus berputar untuk bisa ke
bagian belakang kios, melewati panggangan dan sebuah warung kecil.
Jalannya rusak, menurun, dan gelap.
Lagi-lagi lampu dari restoran ini yang memberi penerangan. Lampu TL dapur
memercikkan secercah cahaya yang menunjukkan potongan badan seekor kambing
berikut cincangannya di talenan besar. Talenan itu diletakkan menempel ke pintu
belakang restoran. Di seberangnya terlihat sebuah rumah yang cukup besar,
memuat empat mobil. Eksterior rumahnya tidak minimalis, mewah dan klasik.
Dengan cat biru berpendar, ubin motif catur, dan tanaman pot yang Di teras
rumah itu, ada beberapa meja makan yang belum dibersihkan. Piring-piring dan
gelas kotor masih berserakan di atasnya. Dengan bingung, saya berjalan mencari
toilet di sekitar situ, mungkin ada papan penunjuk atau apapun. Di ujung
barisan mobil, ada sebuah kamar mandi. Rupanya disitu.
Rumah itu milik keluarga Hanjawar.
Sebuah paradoks ekstrim bila membandingkan penampilan kios sate dan rumahnya.
Namun, Sate Kambing Hanjawar akan tetap seperti itu. Dengan plang usang yang
tulisannya dicat merah sendiri. Dengan lampu kecil yang ringan mengikuti
kencangnya angin.
Usai bertransaksi, kami pamit dan
kembali ke mobil. Sebelum kami masuk ke mobil, kami sempat stretching sambil mencuci paru-paru kami hingga puas. Begitu
kenyang dan sejuk, membuat malam di Puncak begitu lengkap. Seorang yang duduk
di depan warung tersenyum semenjak kami melakukan sedikit senam “Teler ya bos,”
katanya dari kejauhan. Kami balas dengan senyuman dan anggukan. Dia segera
bangun saat kami masuk ke mobil, tukang parkir rupanya.
Cahaya remang dari Sate Kambing
Hanjawar kian memudar, digantikan sepenuhnya lampu mobil kami. Beberapa dari
kami berkeringat, efek dari daging kambing. “Mau kemana habis ini?” tanya Brian
yang menyetir sambil tersenyum.
satenya enak tapi belum bisa balik lagi ke sana
ReplyDelete