Mawar di Tepi
Jalan
Oleh: Kevin Sanly Putera
“Ko, mau itu
dong,” goda Mawar kepada saya dengan genitnya setelah beres memotong rambut
seorang anak. Saya khawatir -takut lebih tepatnya- untuk segera mengetahui apa
maksud kata ‘itu’. “Apaan itu?” tanya
saya dengan senyum bingung. “Ituuu koo..” tunjuk Mawar ke daerah suci saya.
Senyum saya memudar, saya segera pamit.
***
Percakapan saya dan Mawar
berlangsung di salon miliknya yang sudah berdiri selama sembilan tahun. Salon
itu dijepit toko-toko kecil lainnya di tepi jalan tikus bilangan Kali-deres,
Jakarta Barat. Nama salonnya cukup mewakili, sebuah papan kuning bertuliskan
“MAWAR SALON” warna merah tergantung di depan salon itu. Ruangan kotak bersisi
4 meter itu ditata sedemikian rupa sehingga memiliki toilet, kursi cuci rambut,
kursi pelanggan, tempat menunggu, dan tempat parkir motor Suzuki F-150 merah
kesayangannya.
Mawar Adiati nama lengkapnya. Panasnya
ibukota membuat Mawar tak absen meng-gunakan baju tanktop yang ukurannya selalu lebih kecil dibanding tubuh besarnya.
Rambut terurai panjang, lekukan wajahnya kekar seperti Vin Diesel. Kakinya
berotot, tetapi selalu berjalan dengan lembut. Perutnya bundar ditudungi ketat
bajunya, begitu pula dadanya, yang sukses memanipulasi pikiran orang akan
konsistensi identitasnya.
***
Siang
itu salon sedang sepi. Meski demikian, sebuah TV tabung 14” setia menayang-kan
sinetron kesayangan Mawar. Sambil menonton, Mawar menyulut rokok di mulutnya,
dan menikmati masa penantian pelanggan itu. Tidak lama, datanglah seorang anak perempuan, yang langsung
mendatangi Mawar dan duduk di dekatnya. Dia adalah adik bungsu Mawar, datang
menagih uang hariannya.
Sosok
berambut keriting pirang itu tetap menatap televisi, mengepulkan kabut kematian,
“Aku itu punya dua kakak dan delapan adik. Orangtua susah cari uang. Makanya
aku kerja.” Sejak usia 13, Mawar mulai merasakan kejanggalan dari orientasi
seksualnya. Ia lebih menyukai semua yang bersifat wanita. “Orangtua saya juga
tahu saya ini kelainan. Yaaa udah deh,” tawanya ditelan bunyi klakson
mobil yang sedang mengantre di jalan depan salon. “Aku kan punya delapan adik.
Yang tujuh sudah menikah semua. Tinggal yang kecil masih sekolah. Semuanya dari
sekolah sampe nikah aku yang biayain
ko,” mulutnya menguncup tanda sukacita.
“Saya
engga peduli orang bilang apa, toh pelanggan saya engga pernah sepi,” ung-kapnya dengan wajah yang mendadak jengkel.
Mawar merasa berbeda dari para kaum transgender lainnya. Di kala mereka sibuk berpetualang
di jalanan mencari sensasi, Mawar dengan bangga bekerja keras untuk
penghasilannya. “Paling sepi ya 20 orang tiap hari” – Rp 15.000,00 per orang.
Bisa diperkirakan penghasilan minimum Mawar dalam sebulan sepi.
Hasil
potongan Mawar itu yang membuat salonnya tidak pernah ditinggalkan para
pelanggannya. Selain pemotongan yang hanya butuh delapan menit kurang, Mawar
selalu memberi sentuhan ajaibnya ke setiap rambut pelanggan. “Koko mau potong
gaya apa aja aku bisa, tinggal tunjuk
atau bawa gambarnya,” kata Mawar datar sambil menyisir rambutnya. Mawar sudah
terlebih dahulu bekerja di sebuah salon terkenal ibukota selama 12 tahun. Ia
sudah berkecimpung cukup lama di dunia persalonan dan memiliki sertifikat resmi
akan keabsahan talentanya. Namun, ia memutuskan untuk membuka salon sendiri
karena gaji yang diperoleh tidak cukup untuk membiayai keluarganya.
Kemudian,
Mawar berbincang dengan adiknya itu, seperti memberikan pengarahan. Akhirnya si
bungsu pergi meninggalkan salon tanpa respon lain. Mawar duduk lagi di samping
saya, “Aku ya paling seneng sama cowo-cowo
yang ganteng kayak koko ini,” senyum
labirin Mawar menggilas pikiran saya, “Banyak lagi yang lucu-lucu. Ya aku
stresnya jadi bukan kalo terlalu sibuk. Aku stresnya kalo sudah mau tutup salon. Rasanya pengen cepet-cepet besok lagi.” Begitu besar cinta Mawar terhadap
pekerjaannya, hingga ia tidak pernah meliburkan diri bahkan di tanggal merah.
Mawar
memperlakukan pelanggan remaja pria dengan sangat berbeda. Bila ia tertarik,
maka beberapa pose tidak lazim akan segera didaraskan. Gerakan paling topnya
adalah memotong bagian poni pelanggan. Bila sudah sampai bagian depan rambut,
ia akan berpindah posisi tepat berhadapan dengan si pelanggan. Dengan tiba-tiba
dan bertenaga, ia mencoba menempelkan lutut kanannya ke kedua lutut pelanggan.
Lebih parahnya dalam beberapa kasus, ia juga berusaha menempelkan badannya ke
kepala pelanggan. Para remaja yang sudah berpengalaman akan segera menutup
rapat-rapat selangkangannya ketika Mawar sudah berada di depan mereka. Namun,
Mawar bukan orang yang tidak peka, “Ko, engga
usah ditutup kenapa sih,” masih
dengan senyumnya.
Saat
membersihkan rambut dari pundak dan telinga pelanggan, adalah sekuel dari
petualangan mendebarkan di salon itu. Mawar sangat teliti dalam membersihkan
rambut sisa, hingga kelima jari kasarnya sering berjalan-sehat di telinga,
leher, bahkan hingga dada pelanggan. Apa reaksi para remaja muda itu? Senyum,
ketakutan, dan candu. Candu untuk ingin mencoba lagi, rasa penasaran akan
tantangan Mawar sebagai pria sejati selanjutnya. Ritual seperti ini membuat
Mawar Salon semakin ramai dikunjungi remaja pria.
***
Dalam
mengelola salon yang sering kali diserbu banyak pelanggan, Mawar punya seorang
teman yang suka dipanggil untuk membantu. “Tapi aku ga setiap hari pake dia, cuma kalo lagi rame aja.” Tidak demikian sulit baginya untuk
mencari mitra kerja.
Datang
seorang pria berbusana sederhana, dengan wajah datar, masuk ke Mawar Salon.
Mawar segera menyambut, ternyata bukan mau potong rambut. Setelah
berbincang-bincang, Mawar kembali duduk menghadap ke televisi, “Tuh ko, ada kue dikasih sama orang kalo mau makan.” Saya enggan makan.
Bangunan
yang dikontrak oleh Mawar itu menimbulkan sebuah keinginan dalam dirinya.
Beliau bermimpi punya sebuah salon atas nama dirinya sendiri, dengan pegawai
sejumlah enam orang. “Aku mah engga
mau salon yang mewah-mewah. Begini aja
cukup,” ujar Mawar mencocokkan kenyataan dan ambisinya. Datang seorang anak
laki-laki bersama seorang ibu berambut putih. Kali ini, si anak mau potong
rambut. Mawar lekas mendatangi kursi tempat si anak itu duduk, menggelar kain
pelapis ke badan si pelanggan, dan memulai rutinitasnya. Sesekali ia menyeka
rambut si anak –gerakan yang sebenarnya tidak diperlukan- dan mengamatinya
sampai kepalanya miring 45o. Mulutnya menguncup seperti kelopak
mawar, warna bibirnya merah seperti mawar, dan kegigihannya tajam seperti
tangkai mawar. “Biasa saja...” tatapannya kosong, sambil menggunting rambut
anak itu.
Seusainya,
si anak dan si ibu pergi. Sambil membersihkan kain pelapis, Mawar melihat saya
dengan senyum khasnya. “Ko, mau itu
dong,” katanya. Saya segera pamit.
083871690643 Von
ReplyDelete