guys, this is my first post using Bahasa Indonesia. I have to post it, because I'm too lazy to make a new blog and my lecturer give me a very good reason to post this in the house. LOL. So, enjoy. Here I present, a feature about a photo-journalist called Boniface Mwangi. He used to lead Kenyan's act of opposing the government, for they are fighting for the truth. You might want to use Google translate(altough it's not a wise one). Enjoy!
a picture of Boniface Mwangi
“Kami Datang
dalam Damai”
Oleh: Kevin
Sanly Putera / 11140110117
Disadur dari
video “Kenya Rising” karya Karina Moyo
Malam itu pukul 8, malam yang cerah
di Kenya. Di sebuah ruang kecil dari mega-piksel kota Nairobi, Boniface Mwangi
bersama timnya sibuk mempersiapkan aksi protes pertama mereka terhadap
pemerintahan. Kubu oposisi –boleh dibilang- ini dipenuhi rasa ragu akan
keberhasilan aksi pembuatan graffiti di dinding-dinding kota Nairobi. “Ini graffiti
pertama kami dan kami masih sangat berantakan,” ucap Boniface tersenyum kecil.
“Kami harus bertindak cepat dan karena ini merupakan hal ilegal...”
“Kita sudah sampai disini. Kita
jalankan saja, “ jelas seorang anggota tim. Banyak ritual yang dilakukan para
anggota tim: ada yang melakukan push-up,
ada yang melakukan tos dengan cangkir teh, mencoba menenangkan diri dengan
tawa. Tidak lama kemudian, pergilah mereka ke lokasi dengan sebuah van putih.
“Inilah adrenalin dan inilah rasa gugup,” ungkap Boniface yang duduk di bagian
belakang van, masih dengan senyum kecilnya seraya menatap ke arah bawah. Tepat
pukul 10, mereka sampai.
“Kenya adalah salah satu negara yang
paling indah di dunia, tapi orang-orang Kenya adalah pengecut. Kami banyak
mengeluh soal korupsi, impunitas(pembebasan hukuman dari tanggung jawab hukum),
penjajahan, tetapi kami tidak melakukan apa-apa,” kata foto-jurnalis berkulit
gelap itu. “Jadi kami tinggalkan zona nyaman kami, datang ke sini melanggar
hu-kum, dan memberitakan kebenaran.”
Kerjasama tim mulai terlihat, ada
yang menyorot proyektor ke dinding, menampilkan cetakan graffiti untuk ditiru,
ada yang memasang tangga, ada yang langsung menjiplak gambar dari proyektor
dengan pilok. Gambar yang dibuat pun demikian beragam dan mencitrakan berbagai
warna aspirasi mereka. Satu graffiti yang paling ditonjolkan, gambar seekor
burung pemakan bangkai tersenyum sinis berbusana jas, duduk di sebuah kursi
parlemen. “Ini cerita tentang Kenya. Burung pemakan bangkai, adalah mereka yang
termasuk dalam parlemen. Mereka rakus, memakan pajak kami, memperkosa ibu kami,
dan menjajah tanah kami, “ air muka Boniface berubah menjadi lebih serius.
Tangannya bergerak selaras dengan nada dan setiap penekanan kata demi kata,
layaknya seorang orator. “Jadi kami menggunakan seni untuk memberitahu mereka
bahwa, kami tahu siapa sebenarnya kalian (parlemen). Kami tahu kalian adalah
preman, dan kami melawan untuk merebut kembali negeri kami.”
Seorang pejalan kaki kagum melihat
aksi ‘pemberontak pemerintah’ ini, “Saya pikir saya sudah cukup berani, tapi
mereka.. Mereka sungguh luar biasa,” dengan senyum menunjuk ke arah para
seniman itu. Terdapat tujuh lebih jenis graffiti yang dihasilkan, ada yang
menuliskan kriteria pemimpin yang mereka inginkan. Usai mengerjakan, seorang
anggota tim berkata, “Biar mimpi jadi kenyataan. Revolusi!” sambil mengangkat
kepalan tangannya.
Sesuai prediksi pejalan kaki itu,
paginya berkerumunlah warga Nairobi mengamati graffiti tersebut. Ada yang hanya
menatap serius, ada yang mengambil foto, ada pula yang mencoba
mengintepretasikan graffiti itu, “Ini wajah Kenya yang baru, dan ini wajah
Kenya yang sekarang.”
Pengamat lainnya mengatakan, “Apa
yang mereka katakan adalah kebenaran, itu se-mua benar-benar fakta,” sambil
tersenyum kecil menyelidiki graffiti itu dari jarak agak jauh. “Tapi para idiot
itu masih memilih aku,” kutip seorang pengamat dari teks grafitti burung
pemakan bangkai, “Kitalah orang idiot itu.” Ia dan beberapa orang lainnya
tertawa pertanda setuju.
Fenomena ini menyita perhatian nasional
seminggu setelahnya, kepolisian pun segera mencari siapa pembuat huru-hara
tersebut. “Setelah fenomena(graffiti) itu, beberapa politisi datang kepada saya
dan mengajak saya untuk bekerja sama. Kandidat saya bisa membawa perubahan,
kami akan memberimu uang, masa depanmu terjamin, demikian juga anak-anakmu,”
Boniface menolak tawaran tersebut dan mendapat kecaman. Beberapa hari kemudian,
beliau dipanggil ke kantor polisi.
Boniface
tak tinggal diam, ia segera memanggil teman-temannya lewat Facebook untuk
memberi dukungan dengan datang ke kantor polisi. Tak ayal, mereka datang dengan
baju yang kompak, menari dan bernyanyi bersama menyuarakan “Turun burung
pemakan bangkai!” Tentu mereka memenuhi panggilan itu untuk membebaskan
Boniface. “Bila mau ditangkap, tangkaplah ramai-ramai.” Alhasil, Boniface
dilepaskan tanpa gugatan. Di pintu kantor polisi –merayakan kemenangannya-
Boniface berteriak ceria, “Kenya Ni Kwetu(Kenya adalah rumah kami)!” diikuti
sambutan sorak sorai.
Masih
dalam rangka menyelesaikan misinya, Boniface tidak jera. Ia segera menyusun
strategi dan memanggil rekan baru untuk aksi keduanya, Picha Mtaani(pameran
foto) di berbagai penjuru Kenya. Seluruh hasil jepretan Boniface dari peristiwa
kerusuhan Kenya di tahun 2007 akan dipertunjukkan kepada masyarakat, supaya
mereka mengingat masa-masa itu. Masa yang penuh dera, tangis, amarah, dan
ketakutan, dimana seribu orang lebih mati serta 600.000 orang diungsikan akibat
kerusakan yang terjadi.
Takut?
Tentu ada. “(Saat kerusuhan terjadi) Saya mengatakan tidak takut, padahal saya
takut. Mau tidak mau, saya tetap harus bekerja(memotret),” ujar Boniface. Picha
Mtaani berhasil menggetarkan emosi masyarakat. Ada yang marah, menangis, dan sedih.
Boniface tidak melakukan itu untuk menggerakkan sebuah pasukan anarki. “Kami
menemukan cara baru untuk membahas masalah ini(kerusuhan 2007),” kata Boniface.
Kaum oposisi itu tidak ingin memberontak, mereka hanya ingin kebenaran
ditegakkan. Mereka datang dalam damai.
Boniface's photo taken from: http://www.artconsciously.com/wp-content/uploads/2012/07/6023664126_a2a34a7a9f.jpg
Menarik!
ReplyDeletethank you sir!
Delete