Senyum Sedih
Pendidikan 2013
Oleh: Kevin
Sanly Putera / 11140110117
Wisma Abdi, Ciawi dipenuhi para
akademisi hari itu. Aulanya sudah dijejali dengan barisan kursi dan meja
panjang bak pemandangan ruang sidang DPR. Seorang pegawai Wisma Abdi hampir
selesai membuat seluruh ubin aulanya menjadi cermin. Lantainya tapi tidak
licin. Di sudut aula, seorang pria berbaju safari menyiapkan proyektor untuk
aula tersebut. “Ada apa? Ada acara juga disini?” pertanyaan Bu Mariam Ulfah, mengawali
percakapan kami tiba-tiba.
Pada bulan April 2013, segmen ‘Opini’ di
koran Kompas secara berkala memuat
sejumlah pendapat akademisi seputar kehidupan pendidikan Indonesia tahun ini,
baik dari kurikulum hingga dampak terhadap bangsa. Dalam tulisan-tulisan mereka,
tidak ada pemaparan akan dampak perubahan kurikulum yang ternyata ‘wah!’ bagi
banyak pihak: Koalisi Pendidikan, Praktisi
Pendidikan, Federasi Serikat Guru Indonesia, gabungan orang tua murid, dan ICW.
Kurikulum
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh mengatakan pengubahan kurikulum 2013
lebih mengacu kepada pengintegrasian, bukan pengurangan mata pelajaran. Sejak
tahun 2006, kurikulum sekolah Indonesia adalah KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan.) KTSP menyusul KBK(Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang ditetapkan
pada 2004. Perbedaan yang paling mencolok adalah beban belajar dan orientasi
dari sistem tersebut. KTSP mengurangi beban belajar siswa 20% dan berorientasi
pada adaptasi kondisi sekolah(kompetensi guru, akseptabilitas siswa, psikologi)
untuk mata pelajaran yang akan disantap.
Lantas
desain kurikulum 2013 akan membuat ribuan guru kehilangan pekerjaan. Pasalnya
‘integrasi’ itu membuat pelajaran TIK(Teknologi Informasi dan Komunikasi)
dihilangkan. Untuk Bahasa Inggris, waktu pelajaran akan dikurangi dari 180
menit per minggu menjadi 90 menit. Bahasa asing seperti Bahasa Jerman, Perancis
hanya diperun-tukkan bagi sekolah yang punya perminatan bahasa.
“Ini
acara apa bu?” saya balas Bu Mariam dengan pertanyaan. Sebuah spanduk
menggantung tenang di dinding depan aula bertuliskan “BIMBINGAN TEKNIS
PENGENDALIAN KINERJA GURU SMA DAN SMK DI LINGKUNGAN SUKU DINAS PENDIDIKAN
MENENGAH KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA” “Kami berkumpul untuk penyampaian
kurikulum baru(kurikulum 2013),” senyum guru berusia kepala empat itu.
Penampilannya
rapi dan sopan. Wajah Bu Mariam dipenuhi bedak putih dengan guratan ungu eye shadow. Dari jilbab hingga celana,
warna coklat krim yang kompak menjajah. Satu yang tidak hilang, senyum dan
bahasa tubuh yang kian selaras ketika berbicara. Ia berdiri bagai seorang SPG(Sales Promotion Girl), “Yang paling
penting, kami ada disini supaya kami lebih siap melayani para siswa-siswa
nanti.”
Bu
Mariam Ulfah mengajar pelajaran matematika di SMAN unggulan 13, Koja, Jakarta
Utara. Takheran Bu Mariam bisa tersenyum, matematika bukan pelajaran yang akan
dihapus dalam Kurikulum 2013. “Penekanan kurikulum baru ini adalah karakter, “
air mukanya seketika serius, “Siswa-siswi ini diharapkan punya karakter
berbangsa setelah lulus.”
KI(Kompetensi
Inti) dalam Kurikulum 2013 adalah semangat religius, sikap sosial anggota
masyarakat, pengetahuan, dan teknis pelaksanaan KI itu sendiri. Perubahan
kiblat ke arah humanisme ini yang disimpulkan Bu Maryam.
Rayonisasi
Wacana akan rayonisasi sekolah
dilontarkan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama pada
Desember 2012. Rayonisasi sekolah akan membatasi para siswa untuk bersekolah di
kotamadya masing-masing. “Kalau misalnya kamu tinggal di Jakarta Barat, ya kamu
hanya bisa daftar sekolah yang ada di Jakarta Barat,” edisi senyum lainnya
terbit dari wajah Bu Maryam.
“Sekarang lihat saja, jalanan macet
gara-gara mobil yang mengantar para siswa sekolah. Tidak perlu disurvey lagi. Makanya
rayonisasi supaya mereka tidak perlu sekolah jauh-jauh,” Bu Maryam menunjukkan
kekalapan dengan tangan yang digetarkan. Bagaimana kalau kebijakan itu
menimbulkan ketidakimbangan dalam pencapaian para siswa? Apakah siswa-siswa
pintar itu harus ‘dikorbankan’ demi kebijakan rayonisasi?
Pertanyaan itu dijawab Komisi E
DPRD, Wanda Hamidah, bahwa idealnya, setiap kecamatan harus
memiliki sekolah favorit. “Supaya masyarakat enggak musti lari dari Jakarta
Selatan ke Jakarta Utara misalnya, itu kan mengatasi kemacetan.”
***
Pembinaan para guru sekolah Jakarta
Utara itu memprioritaskan para guru BK(Bimbingan dan Konseling) sebagai
peserta. Seorang guru bertubuh gemuk duduk di depan aula, sibuk membubuhkan cap
ke tumpukan surat undangan. Surat itu adalah undangan bagi para guru untuk
acara pembinaan kurikulum baru lebih lanjut. “Walaupun saya lagi di sini(Wisma
Abdi), saya harus tetap kerja. Dikejar deadline,”
ujarnya.
“Yang penting kami(para guru) bisa
dengan matang melayani para siswa nanti(lewat acara pembinaan ini),” kata Bu
Maryam, masih dengan kurva khas itu. Masih
ada guru yang menggunakan sarung, berjalan menyusuri sebuah wisma. Ada sekumpulan
guru wanita yang masih bersantai di kamar. Namun, sesi pertama akan segera
dimulai.
Reviews:
Post a Comment