Mereka
yang Berjuang di Kegelapan
Oleh: Kevin Sanly Putera / 11140110117
Yessi dan Rahma asyik bersenda gurau
seperti biasa, entah apa yang ditertawakan. Mereka sudah berbusana siap
melandaskan tubuh di kasur.
Sembari suara knalpot kendaraan lalu
lalang mengisi atmosfer pukul 10 malam itu, Bu Salamah hanya duduk tenang,
menikmati adukan suara yang berkolaborasi demikian berantakan. Hingga seorang mas-mas yang naik motor menepi, dan
bertanya, “Bu, yang bulat sudah datang?” Tanpa mengecek barisan kerupuknya, Bu
Salamah langsung tersenyum seraya berkata, “Oh belum, yang itu baru kemarin
habis. Besok saya ambil lagi.”
Yessi, Rahma, dan Bu Salamah |
Satu persen dari total penduduk
Indonesia adalah orang cacat tunanetra atau menderita kebutaan, boleh disamakan
dengan jumlah seluruh penduduk Singapura, yakni 3,5 orang. Bu Salamah salah
satu dari mereka. Sejak usia enam tahun, perempuan beranak empat ini sudah
mengalami gangguan penglihatan. “Ya saya mulai buram melihatnya sejak kecil,”
tukas Bu Salamah, masih dengan posisi duduk yang mantap.
Sudah berbulan-bulan Bu Salamah dan
dua anak bungsunya menjadi pemandangan mereka yang pulang malam ke rumah di
Citra Garden 1. Gaya duduk Bu Salamah yang statis bak biksu yang meditasi, itu
yang tidak terlewatkan mata. Lengan kecilnya kuat memeluk Rahma yang sering
memberontak ingin berjalan kemana-mana. Maklum, masih 1 tahun 8 bulan usianya.
“Mereka (Yessi dan Rahma) sudah biasa ikut saya kesini(berdagang) malam-malam,”
Bu Salamah bagai robot penjawab.
Yessi pun adalah pelajar SD kelas 5.
Kebiasaan pulang sekolah-tidur-berjualan menyanggupi kebutuhan fisiknya untuk
tetap menjalankan kedua pekerjaan itu. Yessi sama seperti anak lainnya, punya
bebuyutan di sekolah, “Pelajaran yang paling susah itu agama, yang paling
gampang matematika.”
Bu Salamah juga enggan membiarkan
Yessi untuk ikut berjualan. Jam malam pun dipilih sebagai jam kerja karena
lebih mudah mendapat pelanggan. “Sudah pernah coba jualan siang. Panas dan
lebih ramai kalau malam,” tanggap Bu Salamah.
Anak sulungnya, Mohammad Albiansyah,
usia 19 tahun, putus sekolah saat menduduki kelas 2 SMA karena tidak betah.
Sekarang, ia hidup menganggur dan harus banting tulang bahkan untuk mencari
pekerjaan. “Ya kan belum punya ijazah jadi susah sekarang,” Bu Salamah memberi
detail demi detail, “Sekarang, dia (Albiansyah) ada tuh di rumah. Dia sudah ‘gimana’, mau tidak mau Yessi yang ikut.”
Rahma sendiri ikut karena tidak ada yang mengasuh di rumah bila ditinggal.
Percakapan terpotong ketika seorang
pejalan kaki mendatangi saya dan Bu Salamah. Lelaki paruh baya ini tidak
berkata-kata, hanya melihat-lihat. Ketika melihat pria itu, Yessi langsung
berdiri mendekati pikulan kerupuk ibunya, “Mau, yang, mana?” Ucapan Yessi
terbata-bata. Hanya kepada pelanggan Yessi berlogat demikian. Bila kepada
Rahma, ia berbicara bak orator reformasi.
Transaksi terjadi, Yessi melaporkan
kepada Bu Salamah berapa total harga kerupuk yang dibeli, kemudian berapa uang
yang diberikan. Bu Salamah lantas mengeluarkan dompet koin bermotif khas Louis Vuitton, dan merogoh isinya dengan
perlahan dan teliti. Taklama, Yessi langsung menyentuh tangan ibunya, dan
mengeluarkan uang kembalian sesuai hitungan Bu Salamah. Yessi memberikan
kembalian itu, lalu tiada berucap lagi. Ia kembali duduk di samping ibunya,
sambil memegang Rahma erat.
Perbincangan saya dan Bu Salamah
kerap terpotong bila kami mendengar suara knalpot yang cukup memekakkan
telinga. Seketika, beliau bisa berhenti memberi jeda. Kemudian, dilanjutkan
kembali. Keterbatasannya membuat Yessi menjadi pemimpin dalam menuntun jalan
kian kemari. Selain fungsi kompas, Yessi juga menjadi pengawas bilamana uang
yang diberi dan diterima ibunya sesuai dengan yang seharusnya. Uang yang sudah
lecek dan kusut mempersulit Bu Salamah untuk meraba nominalnya.
“Kemana Bapak, Bu?”
Gusti Rizal namanya, asalnya dari
kota bengkoang, Padang. Mereka dipertemukan takdir ketika belajar bersama di
Puskesmas Tingkat Cengkareng, Jakarta Barat di tahun 1992. Bu Salamah mendapat
pendidikan memijat di puskesmas itu, sebuah program wirausaha bagi yang cacat
tunanetra. Selama tiga tahun sejak 1990, ia mendalami cara membaca huruf timbul
hingga anatomi tubuh manusia. Pendidikan Bu Salamah yang sama sekali nihil
menjadikan ilmu pijat ini satu-satunya cercah harapan hidup.
Lantas, Almarhum Bapak Rizal mengikuti pendidikan pijat sejak 1992, tahun
mereka berdua bertemu. “Bapak kan tidak buta, jadi langsung belajar anatomi dan
praktik pijatnya,” kenang Bu Salamah. Selama setahun mereka saling mengenal. Di
tahun 1993, mereka menikah. Bapak Gusti Rizal keluar dari pendidikan pijat itu
dan mulai berwirausaha bersama istrinya.
Kemudian di tahun 2008, Bapak Gusti
mengidap darah tinggi. Selama setahun ia minum obat herbal dan keluar-masuk
rumah sakit. “Obatnya untuk 1 bulan Rp850.000,00,” lebih mahal dari biaya
kontrakan rumah mereka. Di tahun 2009, Bapak Gusti Rizal berpulang dengan tidak
menunjukkan perkembangan apapun. “Kami sudah tidak ada uang untuk beli obat.
Obatnya mahal lagi,” Bu Salamah lirih bercerita.
“Saya sudah tidak terlalu berharap
penglihatan saya kembali, uang yang saya dapat biar buat anak-anak saja,”
lanjut perempuan berambut keriting itu. Kini Rahma memeluk ibunya dari
belakang, sesekali dijambak rambut ibunya dengan keras. “Untung saya ketemu
teman-teman saya yang sekarang. Ibarat saya suatu malam terbangun dan menangis,
saya memikirkan nasib besok. Ada teman-teman yang dukung saya, untuk tetap
bertahan, kerasan tinggal di sini.”
Sejak menghidupi keluarga sendiri,
Bu Salamah mendapat banyak tekanan hingga beralih ke mengecer kerupuk. Ia
membuka panti pijat di rumah kontrakannya di Jalan Kumbang, Kalideres. Usaha
kecil lainnya adalah warung kopi dan rokok seluas etalase di depan panti itu.
Suatu kali seorang muda yang
langganan pijat datang. Saat itu, anak-anak Bu Salamah sedang sekolah sehingga
ia dan Rahma yang ada di rumah. Lantas, pemuda ini minta dibuatkan kopi jahe, karena kopi lainnya sedang habis.
Tidak lama seorang pelanggan datang. Pemuda ini mengalah giliran dengan alasan
ingin menunggu adiknya terlebih dahulu.
Selanjutnya, pemuda ini minta
menukar uang kecil ke Bu Salamah. “Saya bilang tidak ada, hanya ada uang
Rp50.000,00 dan Rp100.000,00” Pemuda ini menjawab, “Itu di bawah etalase ibu,
bukannya ada duit?” Bu Salamah terkejut. Selama ini, orang itu memerhatikan
kebiasaan Bu Salamah menyembunyikan uang di laci bawah etalase, “Kayaknya di
situ ada pecahan Rp20.000,00 tadi saya lihat.” Bu Salamah mulai curiga dan
tidak nyaman, “Tidak ada pak.”
Lalu, pelanggan lain berdatangan. Bu
Salamah yang kelabakan dengan para pendatang membuatnya lengah. Tiba-tiba
pemuda itu mengambil uang Rp400.000,00 dari dompet itu, lalu dia pergi setelah
membanting dompet kosong itu di atas etalase. “Saya sudah rencana uang itu akan
dipakai untuk membayar kontrakan. Bingung luar biasa. Teman-teman saya kasih
dukungan, supaya saya tetap tinggal di situ.”
Lain hal lagi dengan masalah
terbarunya, kontrakannya sekarang ini dimiliki oleh dua orang. Ke depannya, dua
orang ini memutuskan untuk menutup kontrakan tersebut dan membuat Bu Salamah
harus mencari yang baru. “Untuk sekarang Rp400.000,00 per bulan. Saya sudah
cari keliling, paling murah tetangga ada yang menawarkan Rp700.000,00 per
bulan.”
Dua orang bapak-bapak naik motor
berhenti, “Bu, kerupuknya berapa?” Bu Salamah mengangkat kepalanya sedikit,
“Yang mana pak? Kalau yang besar, Rp10.000,00” Kemudian pria yang dibonceng
memberikan uang Rp 10.000,00 kepada Yessi yang sudah siap layaknya pembuka
pintu. Saat Yessi ingin menggunting tali ikatan kerupuk itu, pria itu segera
berkata, “Dek, saya ke situ dulu ya. Kerupuknya nanti saja, saya mau jemput
teman saya dulu.” Bu Salamah dengan gesit mencegat mereka dengan menanyakan
“Loh, bawa saja kerupuknya.”, “Kapan?” Mereka pergi dan tak pernah kembali.
Saya melihat kerupuk ikan apa saja
yang dijual: getas, kemplang, kuku macan, bahkan ada keripik singkong. “Yang
ini(keripik singkong) kesukaannya Yessi, harganya Rp2.000,00” senyum Bu Salamah
terbit lebar disini. Yessi tersipu malu sambil menunduk menggoyang-goyangkan
kakinya. Yessi dan Rahma juga penggemar kerupuk, herannya, mereka tidak pernah
terkena batuk.
Bu Salamah sendiri tidak meratapi
hidupnya. “Ini sudah takdir dari yang Mahakuasa, jalan-Nya harus begitu.”
Beliau menginginkan wadah jualan yang ada roda supaya lebih mudah dibawa dan
punya kapasitas yang lebih besar. “Saya tidak kuat kalau harus bawa
banyak-banyak.” Setiap jenis, paling banyak ia angkut 20 kantong, kecuali
keripik singkong yang memang berukuran kecil.
“Silahkan
dicicip kuku macannya, yang ini sudah habis. Besok mungkin saya mau ambil
lagi,” beliau menyodorkan sebuah kantong kecil berisi beberapa butir. Saya
mengambil satu, dan memang bukan kerupuk abal-abal
yang dijual Bu Salamah.
Untuk pemenuhan stok, Bu Salamah
membayar ojeg yang mengambilkan kerupuk dagangannya ke agen. Dulu, Bu Salamah
pergi sendiri untuk mengambil. “Ada tetangga yang tidak membolehkan saya pergi,
jadi kadang dia yang mengantar ke agen.”
Sebuah minibus hitam melambat dari
arah sebaliknya. Yessi langsung bersemangat, “Tuh, tuh, tuh, ada yang beli lagi
tuh!” Setidaknya, itulah alasan yang menghibur putri berambut pendek ini. Sebuah
pasutri yang ada di dalamnya, “Berapa harga kerupuknya?”
Beberapa bungkus kerupuk besar
segera dipotong Bu Salamah, Yessi menghantarkan prosesi bayar-membayar. “Sudah
kembaliannya ambil saja,” pasutri di mobil itu langsung menjalankan mobilnya.
Pertanyaan yang selalu dilontarkan Bu Salamah, “Bu/Pak, Kembaliannya?” Dari
satu jam, sudah ada tiga hingga empat pelanggan yang membeli. Pikulan ecer Bu
Salamah semakin ringan.
Seorang mas-mas lain datang dengan motor bebeknya, “Bu, yang bulat sudah
datang?” Ada sebuah jenis kerupuk yang cukup diminati pelanggan dan stoknya
sedikit. “Oh belum, yang itu baru kemarin habis. Besok saya ambil lagi,” senyum
Bu Salamah. Pemuda itu membeli kerupuk lain dan menunggu Yessi selesai
memasukkannya dalam kantong plastik. Yessi
dengan cekatan segera memberikannya. “Kerupuknya
enak-enak memang di sini,” komentar Ari, nama pemuda itu. Saya mengharapkan
jawaban yang lebih simpatik, yang memang selaras dengan paras Ari ketika
menjawab bahwa kerupuk Bu Salamah enak.
Reviews:
Post a Comment